1/18/2016

Nikah = Lebay = Basi?

Dari antara semua artikel sang janda yang membahas opsi antara menikah atau tidak menikah, tulisan ini terbilang yang paling lengkap. Lengkap dengan risetnya. Lengkap dengan sharingnya. Lengkap dengan argumentasi dan curahan isi hati.

Nikah: Lebay = Basi?


Divorce is Expensive, Freedom is Priceless

Perjalanan pulang dari Bangkok, saya baca majalah Newsweek dan ada artikel judulya, “I Don’t”. Isinya agak sinikal, mengenai kenapa sih orang pada mau kawin?

Tentunya karena ini adalah majalah Amerika, maka beberapa angka dan data-data diambil dari responden atau sample orang Amerika. Tapi ada gunanya juga dipikir, sebenarnya apakah perkawinan itu masih perlu?

Jadi, dalam majalah tersebut, dikatakan bahwa jumlah perceraian semakin banyak (kebanyakan perkawinan umurnya tidak lebih dari 5 tahun, ini dari penelitian di Amerika) dan 60% dari perkawinan, pasti sang pasangan pernah berselingkuh dengan orang lain (mirip dengan penelitian yang zaman dulu dilakukan majalah Matra yang bikin heboh di tahun 80-an atau 90-an ya, bahwa 2/3 laki-laki pernah berselingkuh).

Nilai sebuah perkawinan sudah bergeser dari zamannya orangtua saya (atau kita), di mana yang namanya kawin itu parameter kebahagiaan. Kalau zaman dulu perempuan menikah karena a). ada ayah dari anak-anaknya, b). agar terjamin secara finansial, c). supaya ada jaminan kesejahteraan yang diberikan perusahaan suami, seperti asuransi kesehatan.

Sedangkan sekarang, semakin banyak perempuan yang memilih untuk tidak menikah karena a). jumlah anak-anak yang lahir di luar perkawinan banyak dan tidak menjadi masalah, b). perempuan sudah banyak yang lebih makmur dan berpenghasilan lebih dibandingkan dengan laki-laki, c). pekerjaannya juga sudah memberikan asuransi kesehatan.

Jadi, secara logika, perkawinan menjadi institusi yang ‘basi’ di mata kebanyakan perempuan. Kalau dibandingkan di Indonesia, status pembayar pajak ‘single’ tetap menempel pada perempuan-perempuan yang sudah menikah (tidak berkurang seperti rekanan laki-rekanan kita). Begitu pula di Amerika, bahkan di sana status menikah tidak meringankan jumlah pajak yang harus dibayarkan, baik laki-laki maupun perempuan.

Selain itu, di beberapa negara bagian di Amerika dan di Australia, bila sudah hidup bersama lebih dari 2 tahun (berbeda-beda tentunya di tiap negara), maka hak dari pasangan secara hukum adalah sama bilamana mereka berpisah.

Sang pasangan kumpul kebo berhak menuntut rumah hasil pembelian bersama bila mereka berpisah setelah hidup bersama lebih dari 2 tahun. Jadi, apa juga kepentingan mencatatkan hubungan kepada negara?

Di artikel tersebut juga dikatakan untuk menengok tetangga mereka di Eropa, yang mana hidup bersama sudah lebih umum dibandingan dengan di Amerika. Pasangan yang tidak menikah tidak berarti berpoligami. Mereka monogami. Alasannya, karena perkawinan adalah suatu institusi yang sudah tidak sesuai dengan keadaan sekarang.

Salah satu alasannya adalah, untuk hidup dengan satu pasangan dalam kurun waktu yang sangat lama (til death do us part) itu tidak natural. Manusia berubah, kalau tidak makin baik ya makin buruk, maka ide untuk dipantek selama-lamanya dengan satu orang tidak masuk akal bagi mereka. Apalagi dengan umur manusia yang kian lama semakin panjang karena kualitas hidup dan kesejahteraan yang semakin baik.

Ada bagian yang mengatakan, “How do you know that s/he’s the one if you haven’t tried it all?”. Iya juga sih, baru pacaran tiga kali terus bilang, ini dia Mr. Right gue. Saya sudah lama menghapus Mr. Right dalam kamus saya; yang ada Mr. Right Now.

Turn over-nya tidak tinggi tetapi cukup untuk mengatakan bahwa ngga ada cowok yang seperti Nabi Muhammad, yang tidak ragu-ragu menikah dengan Janda Kaya dan tidak ada laki-laki yang seperti nabi sehingga layak dikawini oleh Janda Kaya, wakakakakaka…


Why Are We Divorcing?

Semakin banyak pasangan yang menunda untuk menikah. Sekarang usia orang-orang yang menikah tidak seperti waktu dulu. Perempuan maupun laki-laki ingin menikmati hasil jerih payah kuliahnya dulu, baru menikah.

Bahkan karena kesehatan yang lebih baik dan asuransi yang memungkinkan untuk menjamin kesejahteraan anak kalau orangtua sudah pensiun, kehamilan pun ditunda. Nah, dipertanyakan, kenapa juga ditunda, kenapa tidak saja sekalian?

Dikatakan pula, bagi perempuan, menikah menambahkan ‘jam kerja’ mereka 7 jam dalam seminggu dengan adanya predikat istri. Dengan kata lain, waktu untuk diri sendiri menjadi berkurang karena harus mengurus rumah tangga.

Sedangkan jam kerja kaum lelaki setelah menikah tidak dibahas dalam artikel ini (mustinya nambah juga ya, kalau di Barat sana. Kalau di Indonesia mungkin tidak). Ini menurut statistik katanya.

Alasan kawin lebih baik untuk anak? Di Skandinavia, katanya banyak anak yang lahir dari pasangan tidak menikah dan mereka baik-aik saja. Kawin bukan jaminan bahwa anak-anak tersebut tumbuh di lingkungan yang stabil, karena ternyata lingkungan yang stabil yang dibutuhkan oleh anak.

Jadi kalau pasangannya tidak menikah tetapi bisa memberikan rasa nyaman dan stabil untuk pertumbuhan si anak, ya tidak terjadi apa-apa. Malah kalau perkawinannya banyak berantem, ribut, lebih membuan anaknya jadi gundah. Jadi alasan anak juga gugur.

Rekanan kantor saya yang duduk di sebelah saya berumur 55 tahun, expat dan sudah menikah selama belasan tahun dengan istrinya yang orang Indonesia. Sebelumnya, dia menikah dengan orang bule juga. Waktu saya bacakan beberapa point di artikel tersebut, dia termasuk yang setuju bahwa perkawinan itu ide yang basi.

Dengan menikah, menurut dia, ada unsur posesif sehingga menghalangi pertumbuhan dan kemajuan individu dan menurutnya, memiliki bukanlah hubungan yang sehat. Itu saya setuju: cinta memang bukan berarti memiliki.

Dia memberi contoh, setelah dia cerai dengan istrinya yang pertama, sekarang istrinya sangat maju dalam karirnya, yang mana tidak dapat dilakukan waktu mereka masih menikah karena rekanan saya ini banyak diposting di mana-mana karena profesinya.

Ya, saya bisa bilang bahwa itu tergantung pasangannya sih. Tetapi benar juga, yang tidak menikah bisa berkembang tanpa batas karena tidak harus memikirkan anak dan pasangan (kalau bener-bener single). Lebih bebas mengambil keputusan dan kalau memang tidak bisa dijalankan bersama, berpisah dengan baik-baik karena kehidupannya sudah berbeda.

Kalau nikah dan kejadian seperti itu, harus ada kompromi dan kalau tidak tercapai kesepakatan, duuuuh… Males banget ngga sih ngurusin cerai? Ada lawyer, ada bagi harta, seperti yang terjadi sama rekanan saya itu.

Satu hal lagi, ide yang berkembang di Barat adalah kalau kita cinta lalu menikah, maka perkawinan akan lebih awet. Tidak jaminan juga, dengan angka perkawinan paling banter bertahan 5 tahun seperti yang saya tuliskan sebelumnya. Contohnya, buktinya pasangan-pasangan di Timur yang dijodohkan (contoh di sini, India), malah banyak yang lebih langgeng.


Arranged Marriage Will Survive Longer?

Ini dibenarkan oleh rekanan saya yang lama tinggal di India, bahwa teman-temannya yang dijodohkan banyak yang bertahan dan happy (ya, senang apa tidak kan kita tidak tahu ya).

Argumennya di artikel tersebut adalah, bahwa mereka yang dijodohkan memulai perkawinan dengan ekspektasi yang rendah terhadap pasangannya. Semakin lama, ternyata, eh boleh juga kali ya, jadi cinta tumbuh setelah menikah.

Kalau rekanan saya, argumennya adalah, teman-temannya yang dijodohkan itu benar-benar diseleksi oleh keluarga sehingga latar belakang dan kesenangan mereka sama. Sehingga, kans untuk perkawinannya lebih langgeng itu lebih besar.

Saya membantah argumen tersebut berdasarkan pengalaman pribadi. Saya dengan mantan suami kurang apa coba: latar belakang keluarga mirip, ekonomi, pendidikan, agama, sama. Hobby juga sama.

Tetapi ngga jalan juga tuh. Saya mengatakan bahwa perempuan-perempuan India atau Timur lebih submissive (nrimo) dibandingkan dengan di Barat, sehingga istri-istri tersebut biasanya nelen ludah kalau diperlakukan dengan tidak asik.

Lha, sahabat saya saja yang perempuan mandiri masih mau tuh, telpon pribadinya disensor sama pacarnya, tidak boleh ini dan itu. Baru pacaran itu tah, ncan kawin. Jangankan disensor HP-nya, wong kadang dipukulin juga masih nahan-nahanin demi anak (atau demi status atau demi uang).

Tambahan yang lebih menggelitik lagi, menurut artikel tersebut laki-laki lebih bahagia kalau menikah dibandingkan dengan perempuan. Hmmmh…. Kalau berdasarkan pengalaman pribadi dimana ex suami saya naik 5 kilogram sementara saya turun 5 kilogram selagi menikah (dan alhamdulillah sekarang saya sudah melebihi berat badan sebelum menikah, heheheh), ada benarnya juga mungkin.

Mungkin mereka lebih tenang? Hidupnya lebih teratur karena makan-tidur teratur? Sementara pikiran istri lebih banyak karena lebih memikirkan lebih banyak hal? Tidak tahu juga ya. Garis besarnya, artikel tersebut mempertanyakan, dan menyatakan bahwa perkawinan adalah konsep yang kedaluwarsa.


Bagaimana Dengan di Indonesia?

Masih banyak perempuan yang menganut “kalau tidak menikah, belum komplit”. Banyak lho, temen-temen perempuan saya yang oke-oke karirnya, menarik dan single di usia 30-an masih merasa kalau sendirian itu ada yang salah.

Kasihan juga ya, padahal tidak ada yang salah dengan mereka, hanya kebanyakan masyarakat masih berpikir 2 dimensi saja di Indonesia: menikah = bahagia, tidak menikah = tidak bahagia.

Selain itu, kumpul kebo merupakan hal yang tabu, sex sebelum nikah adalah dosa, jadinya orang masih tidak kapok menikah untuk yang kedua, ketiga dan kesekian kalinya. Jadi, samen leven bukan opsi di negara kita ini.

Padahal, belakangan ini di Indonesia juga banyak perceraian dibandingkan dengan zamannya ibu bapak kita. Saya hanya bisa mengatakan bahwa perempuan Indonesia sekarang lebih sadar akan opsi yang ada dan tidak mau diperlakukan secara seenaknya.

Walaupun yang namanya bercerai itu susahnya dan amit-amit ribetnya di KUA (dan keluar duitnya jutaan walaupun seharusnya tidak), tetap saja dijalani. Coba deh, nongkrong di KUA kalau lagi iseng, kebanyakan di-list yang ada, perempuan yang gugat cerai dibandingan dengan laki-laki yang menuntut cerai.

Kalau saya ditanya secara jujur, bila diajak menikah, mungkin saya akan memilih untuk samen leven saja dulu, daripada repot. Bagaimana kalau ternyata dia tidak mau bantu dalam urusan rumah? Atau tahu-tahu ketahuan kalau sedang bete mukul atau berkata-kata ketus?

Kalau belum kawin kan tinggal hengkang saja, kalau sudah nikah kan repot, karena di Indonesia, kalau menikah sama artinya dengan merger dua keluarga besar. Bagi saya, menikah hanya masuk akal kalau ingin mempunyai anak karena di Indonesia ini stigma kalau ada anak lahir di luar nikah, walaupun sang bapak mau bertanggungjawab.

Takut kalau tua tidak ada yang mengurus? Lha lebih takut lagi kalau punya pasangan tetapi tidak mau mengurus. Atau punya anak tetapi hanya bayarin suster untuk ngurus kita, atau dimasukkan ke rumah jompo, karena waktu mereka kecil mereka juga dititipkan sama suster.

Perkawinan bukan jaminan bahwa kita akan hidup bersama seumur hidup, bukan juga jaminan kalau kita akan hidup bahagia. Hidup memang gambling dan hidup memang akan berubah terus sehingga kita harus flexible. Nah, apakah perkawinan membuat kita tidak flexible? Apakah perkawinan sudah tidak masuk akal?

Memang di Qur’an dikatakan bahwa manusia diciptakan berpasang-pasangan, diciptakan dari jenismu sendiri agar engkau bahagia etc etc, tetapi apakah dikatakan harus dicatatkan di negara? Kalau begitu saling commit saja cukup bukan, karena perkawinan sebenarnya adalah komitmen dua orang anak manusia disaksikan oleh Tuhan, bukan dinilai dan disahkan oleh orang orang-orang lain.

Sedangkan commitment saja ada jangka waktunya. Kok ya kita manusia berani commitment untuk seumur hidup dengan satu orang? Beruntunglah yang sudah menemukan pasangan hidup dan berbahagia dengan pasangannya dalam jangka waktu yang panjang, karena itu benar-benar berkah yang diberikan oleh Yang Maha Pengasih!


(Origin: Janda Kaya)

Anda juga bisa menuliskan dan berbagi dengan seluruh sahabat pembaca "TJanda". Menulislah sekarang dan kirimkan melalui halaman Kontak.